Cerpen 2 : Siluet Imajinasi
Siluet
Imajinasi
Karya: Nandy
Bosky Hatta
Nama
saya Andy Terry Putra biasa dipanggil Andy, saya seorang wartawan yang memiliki
jam terbang yang cukup, karena 5 tahun bekerja di salah satu media cetak
terkenal di Indonesia. Suatu hari saya disuruh mewawancarai seorang putus asa
yang ingin mengakhiri hidupnya. Saya menggurutu didalam hati kenapa sih harus
mewawancarai seseorang yang tidak memiliki hasrat hidup. Sedangkan diluarsana
masih banyak orang hebat dengan segudang prestasi yang bisa memberikan
inspirasi bagi banyak orang daripada hanya mendengar kata-kata putus asa orang
ini. Ketika saya memulai wawancara itu, seperti biasa saya sudah menebaknya
pasti membosankan kata-kata yang dilontarkan pria yang mengaku bernama Danish
ini. Namun, ketika saya tanyakan alasan dia melakukannya suatu ceritapun
tercipta yang mematahkan opiniku sebelumnya yang merasakan bahwa sangat
membosankan mewawancarai orang yang ingin mati ini. Kira-kira seperti ini
ceritanya jika menggunakan bahasa saya.
*****
Aku
seorang Papua dengan segudang prestasi katanya. Aku banyak memenangkan berbagai
macam kejuaraan dibidang akademis maupun olahraga. Dengan banyaknya prestasi
yang ku raih, aku pun berhasil masuk universitas terbaik di Indonesia. Ternyata
perbedaan warna kulit bukan menjadi alasan untukku tidak berprestasi dikota super
sibuk Jakarta, aku pun lulus dengan gelar cumlaude dan mendapat beasiswa
ke Jepang.
Aku
pergi ke Jepang bersama seorang teman saya asal Bogor yang bernama Aditya, dia
adalah teman yang baik dan menyenangkan. Aku dan Aditya berasal dari
universitas, fakultas yang sama, dan sama-sama cumlaude. Setelah aku dan
Aditya sampai di Jepang kami tinggal diasrama yang disediakan oleh
kampus. Banyak kendala yang aku dan Aditya hadapi terutama bahasanya. Orang
disana banyak menggunakan bahasa ibu, hanya sebagian saja yang bisa menggunakan
bahasa Inggris. Menurut ku hal seperti ini sama seperti yang terjadi di
Indonesia, bahkan mungkin lebih parah, karena ada yang tidak bisa menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik.
Hari
pertama kuliah di Jepang sama seperti Indonesia, ospek menjadi menu utama di
hari pertama. Bedanya, di Jepang tidak ada budaya kekerasan yang ditujukan
kepada junior atau pun mempermalukan junior. Di Jepang ospek dikemas kreatif
dengan pameran jurusan oleh para senior. Setelah berkeliling pameran, aku dan
Aditya merasa capai dan beristirahat disebuah bangku taman. Tidak sengaja
wajahku ku palingkan ke kanan terlihat seorang gadis oriental berambut panjang
dengan postur proposional menurutku sedang melihat-lihat pameran tersebut. Saya
pun menghampirinya. Entah keberanian itu datang darimana, karena sebelumnya
saja aku hampir pingsan ketika wanita yang aku sukai menyapa ku. Mungkin karena
terlalu terpesona, aku tetap melanjutkan langkah demi langkah menggapai tempat
berdirinya gadis itu walau dengan langkah kaki yang rasanya kaki ini ingin
lepas saja.
“Hai
what is your name? My name is Danish.” Sapaku dengan bahasa Inggris
yang terbata-bata, karena ini pertama kalinya bagiku melakukan hal semacam ini.
Dengan mengulurkan tangan sambil mengutuk diriku sendiri di dalam hati kenapa
aku melakukan hal bodoh seperti ini.
“Hai
my name is Chow. But wait, kamu orang Indonesia?” Dia bertanya
kembali, sambil membalas uluran tanganku.
“Iya.”
Jawabku terheran-heran kenapa dia bisa berbahasa Indonesia.
“Ohhh,
saya orang Indonesia juga tau. Emang kamu pikir saya darimana?” Jawabnya sambil
tertawa kecil.
“Maaf
ya aku tidak tau, aku kira kamu dari Tiongkok atau tidak warga negara Jepang.”
Jawabku dengan malu, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal ini. Dengan tetap
mengutuk diriku sendiri di dalam hati kenapa aku seberani ini.
“Iya
aku maafin, jadi nama kamu Danish?” Tanyanya memastikan namaku.
“Iya
nama aku Danish, ngomong-ngomong Chow kamu darimana?”
“Dari
Indonesia lahh” Jawabnya sambil melanjutkan jalannya yang sempat terhenti
olehku.
“Maksud
aku kamu dari daerah mana?” Dengan kata-katanya seperti itu membuatku berhenti
mengutuk diriku sendiri di dalam hati, yang telah ku lakukan sedari tadi.
“Ohhh,
aku dari Manado. Kalau kamu?”
“Pantas
saja muka kamu oriental gitu, kalau aku dari Jayapura, Papua.”
“Hahh.
Nggak kayak orang Papua.” Sahutnya keheranan dengan jawabanku.
“Kayaknya
kamu orang yang keseribu kalinya deh, yang ngomong kayak gitu.”Jawabku
mendengar pernyataan yang tidak asing lagi di telingaku.
“Masa?”
“Iya.”
“Bodo”
“Hahahaha,
kayaknya kamu tuh orangnya seru yah, padahal kita baru kenal lohh.”
“Biasa
aja kali, lagian aku tuh senang punya teman satu negara di negeri orang.”
Sahutnya sambil mengeluarkan pena dan secarik kertas dari tas kecil yang
melintang di tubuhnya tersebut.
“Tapi
kamu tuh beda, bisa langsung akrab kayak orang udah lama gak ketemu.”
“Jangan-jangan
kamu dukun, punya ilmu pelet.”
“Mana
ada, hari gini percaya aja begituan.”
“Nggak
kok, malahan aku tuh heran sama orang-orang yang masih percaya kayak gituan.
Apalagi yang ketipu kadang-kadang mau ngakak, tapi kasihan juga sih. Oh ya aku
lanjut jalan ya, nih nomor handphone aku, dahh.” Pamitnya setelah
memberikan nomor handphone yang telah dia siapkan ketika kami sedang
asyik mengobrol tadi.
Setelah
mengobrol dengannya tadi bagian kosong dari hatiku seperti terisi oleh sesuatu
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa hatiku sebelumnya seperti
tanah tandus nan kering tiba-tiba mendadak ditumbuhi bermacam-macam jenis bunga
dengan berbagai macam warna yang menghiasi hatiku ini. Dia pun semakin menjauh
dari pandanganku, bersamaan dengan itu mataku sedari tadi membututi setiap
langkahnya yang seolah-olah tak rela jika langkah kaki itu semakin terlihat
kecil dimataku.
Setelah
aktivitas seharian ku itu selesai dan dengan badan yang bersih, saya menelpon
Chow.
“Halo.” Kataku memulai percakapan.
“Ya halo, who are you?” Tanya
Chow dengan bahasa Ingrisnya yang belum menyadari bahwa akulah yang sedang
bicara dengannya.
“Saya yang tadi itu loh.” Jawabku
“Ohh Danish, maaf ya aku gak tahu
ini kamu. Soalnya kamu juga gak ngasih nomor handphone kamu.” Jawab Chow
yang telah tahu aku yang meneleponnya.
“Kamu kan gak minta tadi.”
“Iya deh, nah sekarang ada apa?”
“Kangen.” Jawabku manja.
“Kangen? Kenal aja baru, ngacok ah.”
“Bercanda aja kok. Besok ada kuliah
gak?”
“Kalau siang sih kosong, emangnya
ada apa sih?”
“Jalan-jalan yuk.”
“Emangnya jalan kemana?”
“Kemana aja, lagian di Jepang
tempatnya bagus-bagus kok.’
“Hoooam, iya deh lihat besok ya. Aku
ngantuk nih, tidur duluan yah.” Terdengar suara yang mengartikan badannya lelah
setelah beraktivitas hari ini.
“Hai arigatou gozaimasu, oyasumi
nasai.”
Tut…tut…tut….
Suara itu pun terdengar di ponselku tanda selesainya obrolan jarak jauh
diantara kami.
Keesokan harinya kami pun pergi ke
sebuah tempat wisata terkenal di Jepang, dan aktivitas itupun hampir rutin kami
lakukan setiap weekend. Satu persatu tempat-tempat terkenal di Jepang
kami jelajahi. Bersamaan dengan itu kamipun semakin dekat setiap harinya, satu
persatu kehidupan pribadi kamipun menjadi topik hangat obrolan kami untuk
saling mengikat satu sama lain.
Seperti
cerita Chow yang merupakan seorang piatu yang ditinggal ibunya ketika berumur
15 tahun, ketika lulus SMA Chow langsung diberangkatkan ke Jepang oleh ayahnya.
Dengan alasan pendidikan Chow lebih terjamin jika di Jepang, lagipula ada adik
ayahnya yaitu bibi Chow di Jepang yang bisa menjaga Chow selama di Jepang.
Pada
suatu hari ketika kami berdua yang sedang berlibur weekend di suatu
tempat rekreasi di Jepang.
“Chow
kita dekat udah berapa lama sih?” Tanyaku yang mengubah suasana menjadi lebih
serius.
“Emangnya
kenapa? Keliatannya serius amat.” Jawabnya enteng.
“Kamu
gak ngerasa?” Tanyaku lebih serius dari sebelumnya.
“Ngerasa
apaan?” Ucapnya dengan ekspresi polos, yang menurutku berpura-pura tidak tahu
maksud dari pembicaraanku.
“Kalau
aku suka sama kamu.”Jawabku to the point. Yang membuat suasana hening
seketika
“Sebenarnya
aku udah lama ngerasa kalau kamu suka sama aku.” Jawabnya dengan serius kali
ini. ”Aku….” Sambungnya, tapi belumlah dia menyelesikan kalimatnya langsung
terpotong olehku.
”Jangan
dijawab Chow.” Jawabku buru-buru memotong kalimat Chow. “Aku gak mau kamu
bilang tidak. Tapi kalau tadi kamu bilang iya, aku gak mau juga. Karena aku
lebih nyaman kayak gini, dan maksud aku ngomong kayak gini cuma mau kamu tahu
aja.” Sambungku.
“Siapa
juga yang mau jadi pacar kamu, ketek aja basah kayak gitu.” Jawabnya dengan
nada bercanda, yang membuat suasana santai seprti semula.
Setelah
percakapan tersebut hatiku merasa legah, semua yang akanku katakan telah aku
sampaikan. Tapi tak kusangka ternyata temanku Aditya juga dekat dengan Chow.
Rasanya mulutku ini kukunci rapat mengenai Chow kepada siapapun. Yang lebih tak
kusangka lagi, dia mengenal Chow selama aku mengenal Chow. Akibatnya terjadi
pertengkaran hebat didalam kamar asrama itu, sehingga aku pun menjadi korban
keganasan Aditya, aku ditusuk di bagian perut dan langsung tersungkur dipojok
kamar.
Aku
membuka mata, dan melihat tempat asing ketika mataku aku buka. Ternyata aku
sedang ada dirumah sakit, kenapa aku berada dirumah sakit? Setelah aku ingat,
terakhir kali aku dipojok kamar dengan lumuran darah dan itu akibat Aditya.
Ketika ku toleh kepalaku ke kanan ternyata ada Chow dengan kepala tertunduk.
Diapun
mengangkat kepalanya dan berkata.”Kamu itu sebenarnya siapa?” Ucapnya yang
membuatku heran.
“Saya
Danish, kok kamu tanya kayak gitu?” Jawabku heran.
“Nggak
kok mastiin aja, jala-jalan yuk.” Ajak Chow dengan ceria, tapi yang kurasakan
bukan keceriaannya Chow seperti biasanya. Justru aku merasa sepertinya Chow
menyembunyikan sesuatu.
“Kemana?
Lagian badanku lemas nih.” Jawabku menolak ajakan Chow karena terkendal kondisiku.
“Aku bantuin, tuh ada kursi roda.” Karena dia terus mengajakku aku terima
ajakknnya. Setelah berjalan-jalan mengitari rumah sakit, kamipun kembali ke
kamarku.
“Chow
aku senang sekali diajak jalan-jalan kayak gini, terimakasih ya.” Ucapku yang
merasa diperhatikan oleh Chow. “Tapi kayaknya ini jalan-jalan terakhir kita
deh.” Jawab Chow dengan nada pelan.
“Maksudnya?”
Tanyaku heran dengan pernyataan Chow.
“Aku
pulang dulu yah, semoga kita bisa ketemu lagi” Ucapnya pamit dan mengucapkan
kata perpisahan seperti tidak akan bertemu kembali. Tanpa menjawab pertanyaanku
sebelumnya.
Hari
berganti hari, kondisiku pun telah pulih kembali. Tetapi selama itu pula
kutunggu kehadiran Chow yang tak kunjung menjengukku. Di hari yang telah
dinyatakan bahwa aku sudah sembuh, datanglah petugas imigrasi Jepang yang
mengatakan bahwa aku harus di deportasi besok harinya dan memintaku untuk
bersiap. Sekarang aku baru tahu maksud dari kalimat Chow. Dia telah mengetahui
ketika aku dinyatakan sembuh aku akan di deportasi oleh imigrasi Jepang. Tapi
kenapa aku yang di deportasi? Kupikir aku hanyalah korban percobaan pembunuhan,
tapi apalah mampuku melawannya.
Sebelum
kepulanganku ke tanah air, aku menyempatkan mengunjungi rumah bibi Chow untuk
menemui Chow untuk yang terakhir kalinya dan berpamitan. Tapi yang kutemui
hanyalah bibinya, sedangkan Chow entah kenapa tak mau untukku temui. Perlakuan
Chow itu membuatku merasa sangat sedih selama perjalanan, dan terus bertanya
didalam hati, dosa apa yang telah aku lakukan sehingga melihatku untuk yang
terakhir kalinya saja tak sudi. Aku merasa aku ini tidak berguna lagi, bahkan
oleh orang yang aku kira sangat peduli dengan ku memperlakukanku seprti sampah,
sehingga ketika sampai di bandara Soekarno-Hatta aku mencoba bunuh diri dengan
cara menbrakkan diri pada sebuah yang sedang melintas. Tapi kenapa bodoh sekali
supir bus itu menabrakku saja tidak kena, malah menabrak trotoar.
*****
“Pak
Andy, ditunggu dokter di ruangannya.” Panggil seorang suster.
“Oh
iya mbak, terimakasih mbak.” Jawab saya kepada Suster tersebut. ”Saudara Danish
terimakasih atas kerjasamnya, saya duluan.” Pamit saya kepada Danish untuk
menemui dokter, sambil menjabat tangannya.
Saya
pun menemui dokter tersebut, dan ketika sampai didepan pintu ruangannya saya
mengetuk pintu tersebut. Terdengar dari dalam suara dokter tersebut yang
berarti mengizinkanku untuk masuk. Sayapun menjabat tangan dokter tersebut, dan
pak dokter menyilahkan saya duduk.
“Maaf
pak dokter karena sebelumnya saya tidak menemui pak dokter terlebih dahulu.”
“Tidak
apa-apa pak Andy, karena tadi jalana macet jadi saya agak terlambat datang.
Lagipula sebelumnya sudah ada konfirmasi dari pihak bapak bahwa hari ini akan
dilakukan wawancara terhadap salah satu pasien kami.” Ucap pak dokter
menanggapi permintaan maaf saya.
“Baik
pak langsung saja, penyakit apa yang dia alami sehingga dia dimasukkan ke rumah
sakit jiwa? Sedangkan yang saya lihat Danish itu seperti orang normal pada
umumnya.” Pertanyaan pertama saya lontarkan kepada sang dokter.
“Saudara
Danish ini menderita penyakit gangguan identitas disosiatif atau lebih dikenal
dengan penyakit kepribadian ganda. Jadi dia memiliki dua kepribadian yaitu
Danish dan Aditya.” Jelas dokter.
“Jadi
dapat saya simpulkan nama sesungguhnya adalah Aditya, karena saya lihat Danish
atau Aditya ini bukanlah orang Jayapura.”
“Iya
betul sekali pak Andy.” Jawab dokter membetulkan jawaban saya.
“Lantas
bagaimana bisa saudara Aditya ini memiliki kepribadian Danish?”
“Menurut
kesimpulan saya dari cerita kedua orang tuanya adalah gangguan ini disebabkan
trauma masa kecil saudara Aditya yang tak sengaja menusuk perut Danish ketika
sedang ada acara diantara kedua keluaraga mereka. Belum selesai rasa bersalah Aditya
karena ke tidak sengajaannya, orang tuanya justru memberi tekanan kepada Aditya
kecil karena telah membunuh Danish. Untuk mengatasi tekanan tersebut, pikiran
Aditya pun menciptakan pribadi Danish, dan ketika umur Aditya semakin dewasa
pribadi Danish pun ikut dewasa. Dan kejadian penusukan Aditya terhadap Danish
pun terulang kembali ketika berada di Jepan. ” Jelas dokter.
“Jadi
pengaruh gangguan tersebut untuk keseharian saudara Aditya apa?”
“Menurut
keluarganya dia lebih suka sendiri didalam kamar, dan sedikit bicara. Atau bisa
dikatakan Aditya ini cenderung anti sosial.”
“Tetapi
kisahnya dengan seorang gadis asal Manado, tidak menggambarkan dirinya anti
social?”
“Sebenarnya
kisah cintanya dengan gadis bernama Chow itu adalah hasil kerja imajinasinya, tetapi
gadis bernama Chow benar-benar ada. Dia adalah gadis Tiongkok asli dan bukan
orang Manado seperti yang diceritakan Aditya. Setelah dikonfirmasi dia tidak
mengenal Aditya.” Ucap sang dokter.
“Jadi
bisa dibilang Chow adalah idola Aditya”. Ucapku mencoba menyimpulkan. ”Iya
betul pak”. Jawab dokter.
“Adakah
kesaksian dari pihak kampus yang bapak ketahui mengenai sikap aneh
Aditya?” Tanyaku semakin penasaran.
“Iya
ada, pertama dari teman asrama Aditya mengatakan Aditya setiap malam sering
berteriak tidak karuan dan puncaknya teriakkan Aditya minta tolong ketika dia
menusuk perutnya sendiri. Kedua dari suster yang merawat Aditya ketika dia
dirawat di rumah sakit karena dia menusuk dirinya sendiri. Suster itu
mengatakan Aditya mengajaknya jalan-jalan keliling rumah sakit, dan ketika
selesai jalan-jalan Aditya berterima kasih dan memanggil suster tersebut dengan
nama Chow.” Jawab dokter mengiyakan jawabanku.
“Iya
untuk yang kedua itu, tadi Aditya menceritakannya kepada saya.” Ucapku. “Yang
terakhir, apakah ada kesaksian dari keluarga mengenai sifat aneh Aditya selain
dari sifatnya yang cenderung anti sosial?” Tanyaku kepada dokter untuk yang
terakhir.
“Sepertinya
tidak ada pak selain itu, tapi sebaliknya Aditya ini memiliki kepintaran dan
prestasi. Orang tuanya pernah bercerita, ketika usia Aditya saat itu 15 tahun
dileskan bahasa Jepang dan Inggris secara privat, Aditya hanya selama 3 bulan
untuk mengusai kedua bahasa tersebut. Dan Aditya pernah menjuarai lomba menulis
cerpen saat umur 10 tahun se-Jawa Barat. Dengan kepintarannya itu pula dia
mendapatkan beasiswa ke Jepang.” Jawab dokter mengurai prestasi Aditya satu
persatu.
“Baik
pak, wawancaranya sudah selesai baik dengan Aditya ataupun dengan bapak
sendiri. Saya ucapkan terimakasih atas kerjasamanya.” Ucapku sebagai penutup,
sambil berjabat tangan dengan pak dokter.
*****
Saya
ucapkan terimaksih kepada teman-teman yang sudah membaca kisah saya dan minta
maaf jika penyampaiannya membosankan. Cerita diatas adalah salah satu
pengalaman saya sebagai wartawan yang sangat luar biasa. Dengan adanya
pengalaman diatas membuat saya sebagai wartawan tidak pernah lagi meremehkan
orang yang akan saya wawancarai. Saya mewakli redaksi sepatu 18 mengucapkan
terimakasih sekali lagi kepada teman-teman sekalian yang telah membaca cerita
ini.
Komentar
Posting Komentar